Jumat, 18 Desember 2009

Multikultural 2

Perspektif Multikulturalisme, Salah Satu Penyelesaian Masalah Diskriminasi Etnis keturunan Tionghoa
Artikel dikirim oleh Diyah Wara Restiyati pada 8 June 2009 – 5:46 am

Dalam sejarah bangsa Indonesia, etnis keturunan Tionghoa telah berada di Indonesia jauh sebelum terbentuknya Indonesia sendiri. Bahkan pada jaman Belanda, sekitar tahun 1901, sudah terdapat sekolah berbahasa pengantar bahasa Mandarin bernama Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Awalnya para etnis keturunan Tionghoa ini bekerja pada sektor pertambangan dan pertanian. Kemudian mereka juga merambah ke berbagai sektor lain terutama perdagangan.
Usaha perdagangan ini kemudian memberi banyak pengaruh pada perkembangan ekonomi, dan kebanyakan etnis keturunan Tionghoa lah yang menguasai bidang ini. Mulai dari berdagang eceran, sampai berdagang dengan partai besar. Karena penguasaan perdagangan oleh etnis ini, maka tahun 1960 pemerintah sempat mengeluarkan peraturan (Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1960), yang melarang orang-orang keturunan Tionghoa berdagang di desa-desa, dan menggantikan warung-warung mereka dengan koperasi-koperasi rakyat desa milik etnis lain, yang dianggap etnis “pribumi” seperti Sunda, Padang dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar ekonomi etnis “pribumi’ ini meningkat.
Selain sukses dalam perdagangan, pada masa pemerintahan Soekarno (sering disebut orde lama), etnis keturunan Tionghoa juga diberikan kesempatan yang sama dengan etnis lainnya, untuk melakukan praktek agama leluhur, mempertunjukkan adat istiadat dan mempergunakan bahasa Mandarin secara bebas. Beberapa etnis keturunan Tionghoa juga berkiprah di bidang politik, bahkan duduk didalam kabinet, dengan masih menggunakan nama Tionghoanya.
Lalu ketika memasuki masa orde baru, kebijakan asimilasi pun mulai dilakukan, terutama terhadap etnis keturunan Tionghoa. Kebijakan ini lahir dengan alasan mencegah keekslusifan etnis keturunan Tionghoa. Adanya ketakutan bahwa etnis ini akan membentuk komunitas tersendiri, tidak berbaur dengan etnis lainnya, merupakan alasan lainnya. Padahal, tanpa adanya kebijakan tersebut, etnis ini sudah berasimilasi dengan sendirinya, terutama lewat pernikahan. Adanya asimilasi tersebut kemudian melahirkan apa yang disebut unsur budaya Tionghoa Peranakan. Unsur budaya Tionghoa Peranakan merupakan campuran dari unsur budaya Tionghoa dengan suku dimana mereka tinggal, atau suku yang mereka nikahi. Misalnya Tionghoa Peranakan Jawa atau Cina Benteng di Jakarta, Banten dan Cina Tenglang di Jawa Barat. Salah satu contoh unsur budaya Tionghoa Peranakan pada kue-kue tradisional Indonesia, yaitu kue mangkok.
Budaya Indonesia merupakan suatu himpunan dari berbagai etnis yang tersebar diseluruh Indonesia, dengan kekhasannya sendiri-sendiri.. Kalau memang budaya Indonesia disepakati sebagai himpunan budaya (sering disebut salad bowl), maka semestinya budaya keturunan Tionghoa merupakan suatu bagian dari budaya Indonesia. Asimilasi yang terjadi, seharusnya dibiarkan secara alami, tanpa perlu adanya kebijakan tersendiri, yang dimasukkan dalam kebijakan negara. Karena proses asimilasi yang dipaksakan, malahan menimbulkan perlakuan yang diskriminatif. Adanya kebijakan untuk penggantian nama bagi etnis ini, dengan nama yang dianggap berbau Indonesia. Kemudian juga penggantian agama, karena agama leluhur yang dianut dianggap tidak sesuai dengan salah satu dasar negara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dampak dari kebijakan tersebut kemudian terjadi kekacauan dalam proses administrasi. Terutama berkaitan dengan hak milik, hak tanah ataupun dengan surat-surat berharga lainnya termasuk pengurusan kartu tanda penduduk. Dan pada tahap selanjutnya, kekacauan administrasi ini juga dibarengi dengan pembatasan etnis ini dalam bidang lain. Pembatasan etnis yang dikuatkan dengan lahirnya peraturan-peraturan seperti tidak menampilkan unsur budaya Tionghoa di muka umum, tidak memakai bahasa Mandarin dalam iklan atau apapun yang ditampilkan di hadapan publik.
Ternyata, pada bidang lain pun, pembatasan juga terjadi, dengan tidak diperbolehkan etnis ini berada dalam pemerintahan atau menjadi tentara. Kemudian juga terjadi penyelewengan sejarah masyarakat etnis ini. Pada buku-buku sejarah, tidak ditemukan tokoh pejuang kemerdekaan yang berasal dari etnis keturunan Tionghoa. Padahal ada beberapa tokoh keturunan Tionghoa yang aktif dalam perjuangan bangsa. Misalnya Liem Koen Hoen dan sebagainya.
Pembatasan etnis keturunan Tionghoa ini, yang kemudian justru semakin memantapkan diri posisi etnis ini dalam ekonomi. Pada masa orde baru berkembanglah usaha patungan antara pengusaha keturunan Tionghoa dengan etnis lain. Dalam perkembangannya, usaha para pengusaha etnis ini semakin maju, dan didukung pemerintah melalui pemberian modal yang lebih mudah prosesnya dibandingkan pemberian modal kepada pengusaha “pribumi”. Hal ini yang kemudian membuat kesenjangan antara yang keturunan dan “pribumi”.
Yang terjadi selanjutnya adalah prasangka negatif terhadap etnis ini semakin terbangun. Berbagai iklan dan kebijakan pemerintah mengarah pada superior etnis ini dalam bidang ekonomi, dan menutupi diskriminasi di bidang lain. Iklan dan kebijakan atas superior ini yang diterima oleh masyarakat sebagai penguatan pada karakter dan sifat negatif etnis ini. Prasangka negatif pun semakin tersosialisasikan dengan luas, ketika terjadi konflik pribadi antar etnis, yang ditarik sebagai pembenaran atas streorotipe etnis keturunan Tionghoa, yang artinya berlaku secara umum.
Proses dari streorotipe yang terus menerus dibangun tadi, menimbulkan sentimen negatif baik pribadi maupun umum terhadap etnis keturunan Tionghoa. Puncak dari segala sentimen, dimana kebencian, kecurigaan dan kemarahan terhadap etnis keturunan Tionghoa muncul dan menjadikan etnis ini sebagai salah satu sasaran kekerasan pada peristiwa Mei 1998. Puluhan atau mungkin ratusan (tidak ada catatan yang pasti jumlahnya) perempuan keturunan Tionghoa kemudian juga menjadi korban perkosaan dan pelecehan seksual pada tragedi 12-14 Mei 1998. Sebuah tragedi yang terus disangkal keberadaannya oleh pemerintah orde, yang seharusnya tidak terjadi pada bangsa yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, yang pada masa perjuangan pembentukannya, tidak membedakan seseorang berdasarkan warna kulit, ras, agama atau sukunya atau berdasarkan bhinneka tunggal ika.
Setelah masa orde baru, lahirlah masa reformasi yang diyakini sebagai masa pencerahan, dengan terbukanya kesempatan pada etnis keturunan Tionghoa berkegiatan di semua bidang, dan mempertunjukkan unsur budayanya. Kebijakan yang membatasi etnis keturunan Tionghoa yang dituangkan dalam Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 mengenai pengaturan tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina pun dicabut. Namun, ternyata dalam prakteknya masih ada masalah diskriminasi yang terjadi pada etnis keturunan Tionghoa. Terutama ketika mereka kembali menggunakan nama Tionghoa atau mengaku sebagai keturunan Tionghoa.
Seperti yang terjadi pada teman saya keturunan Tionghoa yang tinggal di Glodok. Ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) pada tahun 2001, dia dikenakan biaya yang lebih tinggi dibandingkan yang bukan warga keturunan. Padahal namanya sendiri sudah memakai nama Indonesia, agamanya Katolik, bukan umumnya keturunan Tionghoa yang beragama Buddha atau Khonghucu. Bahkan tidak memiliki ciri fisik yang dilekatkan pada keturunan Tionghoa, seperti bermata sipit atau berkulit putih. Diketahui kemudian, pihak kelurahan ternyata melihat nama orangtuanya yang masih memakai nama Tionghoa sebelum menetapkan harga pembuatan KTP.
Bicara mengenai identitas etnis keturunan Tionghoa, sesungguhnya saat ini cukup sulit untuk mencirikan identitas etnis ini dari segi fisiknya. Karena sudah banyak terjadi pembauran. Bahkan ada yang pernah mengatakan bahwa lebih dari 50% etnis keturunan yang tinggal di Indonesia, merupakan Tionghoa Peranakan. Sehingga tidaklah relevan ciri fisik dijadikan sebagai identitas dari etnis keturunan Tionghoa.
Gondomono, seorang sinolog (ahli budaya Tionghoa) mengutarakan bahwa, ciri yang dapat dipergunakan untuk menilai jati diri etnis keturunan Tionghoa yaitu, partisipasi dalam budaya yang dianggap sebagai budaya Tionghoa, menggunakan simbol-simbol agama atau kepercayaan leluhur orang Tionghoa yang ditempelkan di rumah, melestarikan tradisi seperti pemakaian nama dan mempertahankan hubungan kekerabatan dan pengakuan orang keturunan Tionghoa terhadap ke-Tionghoa-annya sendiri.
Sedangkan menurut Skinner, yang membedakan orang beretnis Tionghoa atau bukan yaitu, apabila orang tersebut berfungsi sebagai anggota dari, dan bergabung dengan masyarakat keturunan Tionghoa. Satu-satunya tanda yang dapat dipercaya berasal dari pernyataan diri sebagai orang Tionghoa dan pemakaian beberapa bentuk dan keadaan seperti nama Tionghoa. Dalam kenyataannya, sebagian besar keturunan Tionghoa di Indonesia sudah tidak berpartisipasi dalam budaya leluhur, sudah tidak memeluk agama leluhur, sudah memakai nama Indonesia atau nama barat dan bahkan bukan anggota dari masyarakat keturunan Tionghoa.
Seperti teman saya, Nita, satu-satunya yang mencirikan dia sebagai etnis keturunan Tionghoa adalah, ketika dia berkulit putih dan bermata sipit. Dia sama sekali tidak mengerti bahasa Mandarin atau melakukan praktek-praktek budaya Tionghoa. Dia mengaku sebagai orang Indonesia, etnis keturunan Tionghoa. Sama halnya seperti orang dari etnis Jawa mengaku orang Indonesia.
Karena itu perlakuan diskriminasi terhadap seseorang karena keetnisannya merupakan hal yang sudah tidak relevan, mengingat sebetulnya unsur budaya yang ada pada setiap etnis memiliki persamaan dan perbedaan. Dan didalam persamaan dan perbedaan tersebut, harus terdapat dialog dan diskusi antar etnis secara terus menerus, agar bisa meminimalisir prasangka-prasangka negatif yang sudah terbangun cukup lama tadi. Keterbukaan atas perbedaan merupakan hal yang mendasar untuk menjembatani dialog tersebut. Setiap etnis memang memiliki kekhasannya masing-masing dalam budayanya, namun seharusnya hal itu tidaklah menjadi dasar untuk bersikap diskriminatif, dan bersikap bahwa budaya satu etnis lebih tinggi dibandingkan etnis lainnya, yang malahan mengarah pada terjadinya konflik antar etnis seperti yang terjadi di Sampit atau Sambas di Kalimantan.
Diyah Wara Restiyati - Peneliti masalah sosial-ekologi


http://sekitarkita.com/2009/06/perspektif-multikulturalisme-salah-satu-penyelesaian-masalah-diskriminasi-etnis-keturunan-tionghoa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar