Jumat, 18 Desember 2009

Multikultural 1

Sabtu, 29 Agustus 2009
Multikulturalisme Media Massa Lokal Menuju Perdamaian
Think globally act locally. Ungkapan ini dikemukakan Mahatma Gandhi puluhan tahun yang lalu. Sederhana tapi dalam maknanya. Gandhi hidup dalam setting sosial India yang saat itu dijajah oleh Inggris. Penjajahan telah membangkitkan semangat nasionalisme dalam masyarakat yang dijajah. Solidaritas masyarakat dalam menghadapi penjajah saat itu telah menumbuhkan nasionalisme dalam masyarakat India. Nasionalisme adalah kata yang berhubungan erat dengan kata negara dan bangsa yang menjadi sebuah gagasan hegemonik (Nagengast dalam Majalah Basement, Vol I No 1 September 1999, Unpas, Bandung ). Menurut Kellas, nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi dan tingkah laku yang sulit untuk dipisahkan. Nasionalisme sebagai ideologi terbentuk oleh gagasan negara bangsa dan menjadikannya basis untuk bertindak sehingga esensi bangsa tidak pernah berubah.

Sementara etnonasionalisme itu sendiri baru berkembang kemudian. Etno-nasionalisme lebih banyak terjadi disebabkan adanya ketidaksetaraan nyata dan eksploitasi baru yang lestari dalam sebuah bangsa. Proses penindasan dan diskriminasi yang dirasakan, telah menghapuskan imajinasi tentang mimpi hidup bersama dalam sebuah bangsa, dan dengan komunitas yang majemuk. Sesuai dengan Kellas, etnonasionalisme di sini dapat dikatakan sebagai suatu bentuk ideologi akibat keterasingan etnisitas dalam sebuah bangsa.

Semangat yang coba dibangun dalam solidaritas India saat itu memang cukup baik dalam menghadapi penjajahan Inggris. Meminjam pendapat Tilly, selama lima abad, nasionalisme di Eropa yang telah menegaskan upaya untuk mencapai kepentingan kelas berkuasa menunjukkan efektifnya kegiatan homogenisasi. Hal itu menunjukkan bahwa semangat homogenitas yang dibangun sebagai alat kohesi sosial telah membuat cita-cita nasionalisme menjadi kuat. Negara harus mengikuti masyarakat yang homogen karena masyarakat yang seperti itu lebih memiliki tujuan yang jelas. Semangat patriotis pun dapat ditumbuhkan dengan lebih mudah. Pada sisi lain, hal ini meresahkan Gandhi, sang tokoh yang amat disegani masyarakat India dan dunia internasional masa itu. Jika hal ini dibiarkan, ia akan menjadi sesuatu yang kontraproduktif manakala nasionalisme yang terbentuk, mengarah pada semangat etnonasionalisme yang rentan dengan nuansa chauvinistik (kecintaan yang berlebihan pada diri sendiri / kelompok/ golongan). Suatu hal yang tak dapat dipungkiri, dalam kacamata global, India adalah bagian dari negara-negara di dunia. India hidup dalam hubungan negara-negara di pentas global yang saling berhubungan (interconnection) dan saling ketergantungan (interdependency) dalam segala aspek kehidupan ; ekonomi, sosial, budaya, ideologi, historis, dan pertahanan keamanan. Sehingga ide tentang etnonasionalisme hanya akan membuat India kembali masuk dalam keterpurukan kedua setelah lepas dari penjajahan. Bagi Gandhi, solidaritas bangsa India tetap harus dibangun dalam kerangka pikir global yang sarat dengan dinamika multikultural (budaya majemuk) dalam sebuah ungkapan di atas, “berpikir global, bertindak lokal.” Jika tidak, hal ini akan menjadi malapetaka bagi India karena terjebak pada paradigma sempit memandang kehidupannya di pentas dunia..

***

Paradigma multikultural itu pun hendaknya mulai dibangun dalam dunia jurnalisme Indonesia khususnya jurnalisme lokal/ daerah. Media massa sebagai output jurnalisme telah menjadi kekuatan dominan dalam masyarakat informasi saat ini. Reformasi 1998 yang berimplikasi pada kemudahan setiap orang/ kelompok untuk mendirikan industri media massa _ asalkan memiliki modal finansial dan sumber daya manusia _ telah memberi “angin” kebebasan berekspresi dan berkompetisi yang lebih ketat bagi media-media massa. Orientasi pemberitaan pun mengalami pergeseran. Masa orde baru yang otoriter dan represif terhadap media massa, tak ditemui lagi pada masa reformasi, yang memungkinkan kritik dan pembongkaran realitas semu selama ini berseliweran dengan bebas. Gejolak-gejolak sosial yang semakin eskalatif sejak reformasi bergulir pun menjadi tantangan baru bagi media massa untuk segera me-reposisi dirinya. Konflik-konflik yang terjadi di Aceh, Maluku, Irian Jaya, Sampit dan beberapa daerah lainnya menjadi pertanyaan besar bagi media massa khususnya media massa lokal : bagaimana ia melakukan pemberitaannya ? Khusus terhadap kasus Aceh dengan pilihan kemerdekaan yang menguat sekarang ini, bagaimanakah media massa lokal Aceh menyikapi hal ini ?

Media massa sebagai wacana tidak bisa dilepaskan dari konteks bahasa, pengetahuan dan kekuasaan yang melingkupinya. Wacana dalam konteks ini dimaksudkan sebagai semua bidang pernyataan yang kadangkala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan atau praktek regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan (Foucoult, 1972). Dalam konteks inilah media massa dilihat sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari permasalahan ideologis yang mempengaruhi gaya, ungkapan, dan kosa kata berbahasa. Media massa sebagai produsen bahasa dan simbol-simbol disebut sebagai produsen pengetahuan berupa kebenaran atau realitas.

Dalam permasalahan konflik di Aceh, media massa lokal menjadi cerminan realitas yang terlihat lebih “jujur” dibandingkan dengan media-media massa yang berskala nasional. Pada sebuah perdebatan mengenai rasisme oleh media massa, seorang wartawan dari media mingguan Tottenham Herald, London, mengatakan bahwa realitas yang disajikan oleh jurnalis di media massa adalah refleksi sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakat. Jika jurnalis hidup dan berkembang dalam masyarakat yang rasis, maka rasis-lah yang dihasilkan dalam pemberitaannya (John Tackara, 1979 : 90). Jika media massa lokal memberitakan keberadaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh dengan sangat skeptis, maka jurnalis akan membela dirinya bahwa itulah sesungguhnya kondisi yang terjadi di lapangan sosialnya.

Bahasa atau simbol-simbol dalam berita media massa terhadap pencitraan GAM/ TNI. menjadi sebuah pengetahuan yang dianggap benar atas realitas Aceh saat ini. GAM yang separatis dan sering melakukan gerilya penyerangan menjadi simbol citra masyarakat Aceh yang penuh kekerasan dan tak mau diajak kompromi. Pemberitaan tentang penyerangan GAM terhadap markas-markas TNI, pembakaran rumah-rumah penduduk sipil, teror terhadap industri-industri vital di Aceh seperti Exxonmobil, menjadi sebuah kebenaran pengetahuan bagi pemerintah untuk segera melakukan darurat militer terbatas (apapun namanya) di Aceh. Pemberitaan media massa terhadap sweeping yang dilakukan oleh ABRI terhadap masyarakat sipil, penyerangan mendadak pada pemukiman penduduk, atau teror-teror dan penculikan masyarakat yang sangat represif pun menjadi sebuah kebenaran pengetahuan bagi masyarakat Aceh untuk terus menunjukkan kebencian dan kecurigaan kepada ABRI. Kedua kelompok itu berpolemik (pertarungan pendapat) pada “ruang-ruang” media dengan “gaya” saling menuding dan mencari kambing hitam. Media massa pun menjadi arena pertarungan opini publik yang tak kunjung usai. Bahkan terkesan media menjadi salah satu penyebab permasalahan yang berlarut-larut.

***

Wacana etnonasionalisme yang dibangun GAM pun menjadi pemberitaan yang tak mungkin dihindari oleh media massa lokal. Seperti makan buah simalakama, media massa tak mungkin menjadi kekuatan yang menentang arus dominan. Sehingga pada satu sisi, terkesan, media massa lokal pun melakukan usaha “mencari selamat”. Wacana kemerdekaan bangsa Aceh yang dihembuskan oleh GAM akhirnya menjadi wacana dominan bahwa itulah kebenaran terhadap realitas sosial Aceh masa kini. Bagi kekuatan yang melawan arus ini, maka dia bukanlah bagian dari bangsa Aceh (pengingkaran terhadap semangat etnonasionalisme yang coba dibangun). Hingga akhirnya, wacana chauvinistik yang kontraproduktif dalam kacamata Gandhi tadi, terpaksa hadir dalam pemberitaan media-media massa lokal. Masyarakat yang menjadi tidak kritis akibat “represifitas” psikologis itu, akhirnya memaknai bahwa inilah kebenaran yang harus diperjuangkan dalam tataran praksis.

Pilihan-pilihan penyelesaian masalah terhadap konflik Aceh sesungguhnya bukanlah permasalahan utama. Apalagi jika pilihan-pilihan itu tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis bagaimana pendekatan komprehensif yang terbaik dilakukan terhadap Aceh. Hal ini pun hendaknya disadari oleh media-media massa lokal yang seharusnya dapat menjadi “rekonsiliator” konflik. Pemberitaan yang seimbang dan multidimesi (multikultural) menjadi salah satu peran yang dapat dilakukan media massa lokal dalam menyikapi konflik yang terus menunjukkan grafik eskalatif. Hal ini sangat perlu bagi tiap kelompok masyarakat dalam melihat permasalahan konflik Aceh dengan cara pandang (wawasan) yang lebih luas.

Wacana multikultural yang dihadirkan oleh media massa menjadi hal penting bagi masyarakat Aceh ataupun di luar Aceh dalam memandang persoalan saat ini. Wacana multikultural dapat dilihat dalam penggunaan bahasa yang disampaikan oleh media massa, pemilihan narasumber, penulisan feature-feature yang menekankan aspek kontemplatif dan komparatif. Wacana itu disampaikan dalam tataran dimensi global dan aspek kekinian. Pada tataran inilah, media massa tak hanya terjebak menjadi corong bagi opsi-opsi yang berkembang saat ini. Tetapi pada akhirnya media massa mampu menjadi agen kreatif, yang “keluar” dari kejumudan opsi-opsi penyelesaian masalah Aceh.

Rencana penerapan darurat militer terbatas di Aceh saat ini pun harus dapat disikapi media massa secara komprehensif dan filosofis. Hendaknya media massa tak terjebak pada berita-berita tentang bagaimana kesiapan militer menghadapi “kekuatan” GAM saat ini (jumlah personil militer yang diturunkan, persenjataan yang siap digunakan) atau pada resistensi GAM menghadapi hal tersebut. Media massa dapat menghadirkan realitas lain, di sudut dunia lain, atau dengan perspektif yang lain, memandang bagaimana penyelesaian konflik suatu daerah dengan “peperangan” akan melahirkan masalah-masalah baru. Apalagi jika ketidakmatangan rencana dan aturan main di lapangan tidak disepakati dengan baik oleh pihak-pihak yang bertikai (jika memang solusi “perang” menjadi final dan tak dapat ditawar-tawar lagi). Kebuntuan media massa dengan kacamata kudanya dalam melihat persoalan ini selalu dari perspektif GAM, TNI, dan pemerintah, akan terus memapankan psikologis “perang” pada masyarakat di dalam dan luar Aceh.

Paradigma multikultur yang coba dibangun dalam media massa, cepat atau lambat akan kembali mengukuhkan peran media massa sebagai kekuatan keempat negara (the fourth estate). Apalagi idealisme media massa lokal masih lebih tinggi dibandingkan media-media massa besar yang semakin sarat kepentingan bisnisnya. Sehingga wacana multikultur yang akan membangun semangat jurnalisme perdamaian _ berorientasi damai, mengungkap ketidakbenaran, fokus pada penderitaan rakyat/ orang banyak, berakhir pada : resolusi, rekonstruksi, dan rekonsiliasi _ pada akhirnya mampu menempatkan media massa sebagai pihak yang berperan meredam perbedaan konflik dan kesenjangan di antara pihak-pihak bertikai. Malah mungkin dalam jurnalisme damainya”, media massa mampu menghantarkan pihak-pihak yang bertikai menuju meja perundingan. Memang tidak mudah, tapi inilah taruhan bagi kemanusiaan. Lagipula, media massa pun tak ingin jika dijadikan kambing hitam bagi “pembesaran” konflik seperti yang terjadi dalam persoalan di Yugoslavia. Selanjutnya, siapkah media massa lokal kita ?
Diposkan oleh penapensil di 20:05

http://menulisataumati.blogspot.com/2009/08/multikulturalisme-media-massa-lokal.html

1 komentar:

  1. Tampilan kurang menarik, pembaca malas membaca.
    Perlu ada gambar2 penunjang, di setiap materi perkuliahan yang ditampilkan.

    BalasHapus